Di era digital yang semakin terhubung, krisis kesehatan mental menjadi isu global yang menyentuh berbagai lapisan masyarakat. Namun, salah satu kelompok yang paling terdampak adalah Generasi Z krisis mental, yakni individu yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an. Tumbuh di tengah kemajuan teknologi, disrupsi sosial, dan tekanan ekspektasi yang tinggi, generasi ini menghadapi tantangan mental yang berbeda dibandingkan generasi sebelumnya.
Potret Kesehatan Mental Generasi Z
Berdasarkan laporan dari World Health Organization (WHO) dan berbagai lembaga riset psikologi global, prevalensi gangguan kecemasan, depresi, burnout, hingga perasaan kesepian meningkat secara signifikan di kalangan remaja dan dewasa muda dalam dekade terakhir. Generasi Z kerap digambarkan sebagai generasi paling cemas, namun juga generasi paling terbuka dalam membicarakan kesehatan mental.
Studi oleh American Psychological Association (APA) pada tahun-tahun terakhir menunjukkan bahwa lebih dari 70% Gen Z mengaku mengalami stres berlebih terkait masa depan, pekerjaan, keuangan, dan isu-isu sosial seperti perubahan iklim atau ketidaksetaraan sosial. Mereka juga merasa terdorong untuk selalu tampil sempurna di media sosial, yang secara tidak langsung memperkuat budaya perbandingan sosial (social comparison).
Akar Masalah: Tekanan Sosial dan Harapan yang Tidak Realistis
Tekanan sosial yang dihadapi Generasi Z tidak hanya datang dari lingkungan sekitar—keluarga, sekolah, atau teman sebaya—tetapi juga dari ruang digital yang selalu aktif 24 jam.
1. Media Sosial: Pedang Bermata Dua
Media sosial menjadi bagian integral dalam kehidupan Gen Z. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari di platform seperti Instagram, TikTok, X (Twitter), atau Snapchat. Meski platform ini memberi peluang untuk berekspresi dan terhubung, ia juga menciptakan lingkungan yang kompetitif dan toksik secara emosional. Melihat kehidupan orang lain yang tampak “sempurna” bisa memicu perasaan tidak cukup baik, rendah diri, dan bahkan depresi.
Di balik unggahan foto bahagia dan pencapaian luar biasa, tersembunyi tekanan untuk selalu tampil sukses, cantik, dan produktif. Ketika kenyataan hidup tidak sesuai dengan narasi yang ditampilkan di media sosial, muncul jurang antara harapan dan realita yang menyakitkan.
2. Ekspektasi Pendidikan dan Karier
Tekanan untuk berprestasi juga menjadi faktor utama dalam stres Gen Z. Sistem pendidikan yang semakin kompetitif, tuntutan nilai tinggi, serta harapan untuk mendapatkan pekerjaan bergengsi di usia muda menciptakan lingkungan tekanan tinggi sejak dini.
Orang tua, meskipun dengan niat baik, seringkali tanpa sadar mendorong anak mereka untuk memenuhi standar tertentu, tanpa cukup memperhatikan kondisi psikologisnya. Akibatnya, banyak anak muda merasa gagal bila tidak mencapai standar tersebut.
3. Krisis Identitas dan Arus Informasi
Generasi Z hidup dalam zaman yang penuh informasi—baik fakta, opini, hingga hoaks—yang datang dari berbagai arah. Mereka dituntut untuk menentukan jati diri dengan cepat di tengah banjir narasi tentang identitas, orientasi seksual, pandangan politik, dan ideologi sosial. Semua ini bisa memicu kebingungan dan kecemasan eksistensial.
Dampak yang Terlihat: Dari Burnout hingga Self-Harm
Kondisi mental yang tidak ditangani dengan baik bisa berkembang menjadi gejala yang serius. Banyak dari Gen Z melaporkan mengalami:
-
Burnout meski masih di bangku sekolah atau awal karier
-
Kecemasan sosial yang membuat mereka sulit menjalin hubungan nyata
-
Gangguan tidur dan kebiasaan buruk seperti doom scrolling
-
Self-harm dan dalam kasus ekstrem, pikiran untuk mengakhiri hidup
Tragisnya, tidak semua individu mendapatkan dukungan profesional karena stigma terhadap kesehatan mental masih cukup kuat di berbagai budaya.
Peluang Harapan: Generasi yang Lebih Sadar dan Terbuka
Meski menghadapi daftar rajazeus tantangan yang berat, Gen Z juga membawa harapan baru dalam revolusi kesehatan mental. Mereka lebih terbuka untuk berbicara tentang perasaan, lebih peka terhadap isu kesehatan jiwa, dan lebih aktif mencari bantuan bila diperlukan. Banyak dari mereka:
-
Menyuarakan pentingnya self-care dan boundaries
-
Menormalisasi terapi dan konseling psikologis
-
Menciptakan komunitas online untuk saling mendukung
Platform seperti TikTok dan Instagram, meski sering dipersalahkan sebagai pemicu kecemasan, juga menjadi sarana edukasi mental health. Munculnya konten dari psikolog, aktivis, hingga orang-orang biasa yang berbagi perjuangan mereka, membantu menghapus stigma dan memperluas pemahaman publik.
Peran Lingkungan: Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Membantu Generasi Z tidak hanya tugas orang tua atau tenaga pendidik, tapi juga tanggung jawab kolektif sebagai masyarakat. Beberapa langkah penting yang bisa diambil antara lain:
-
Mengintegrasikan pendidikan kesehatan mental di sekolah sejak dini
-
Menyediakan akses konseling yang murah dan ramah anak muda
-
Mendorong perusahaan menyediakan program kesejahteraan psikologis untuk karyawan muda
-
Membuka ruang diskusi di rumah tanpa penghakiman
Lebih dari itu, kita perlu menciptakan lingkungan yang menghargai keberagaman dan kegagalan sebagai bagian dari proses tumbuh.
BACA JUGA: Coping Mechanism Sehat untuk Anak Muda yang Merasa Overwhelmed