2025-05-03 | admin3

Cemas di Era Digital: Gen-Z dan Krisis Mental di Balik Layar

Di tengah kecanggihan teknologi dan konektivitas tanpa batas, generasi muda saat ini justru menghadapi t

Mental Health Gen Z Indonesia

antangan baru yang tak kasatmata: lonjakan gangguan kecemasan dan kesehatan mental akibat paparan digital berlebihan. Generasi Z—mereka yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an—hidup dalam era internet, media sosial, dan smartphone, namun ironisnya justru menjadi kelompok paling rentan terhadap krisis mental Gen Z di balik layar.


📱 Ketergantungan Digital dan Tekanan Sosial Virtual

Gen-Z tumbuh dengan perangkat digital sebagai bagian dari keseharian: belajar, bersosialisasi, hiburan, bahkan membangun identitas diri. Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Twitter menjadi ruang ekspresi, tapi juga ladang perbandingan sosial yang sangat intens.

Setiap unggahan foto, komentar, atau jumlah likes bisa menjadi sumber validasi—atau sebaliknya, pemicu kecemasan. Banyak anak muda merasa tertekan untuk terlihat sempurna, mengikuti tren, dan mengejar pengakuan virtual yang bersifat sementara.

Menurut laporan dari American Psychological Association (APA), lebih dari 9 dari 10 Gen-Z mengaku mengalami tekanan mental, dan media sosial menjadi salah satu pemicu utama.


Overstimulasi dan Kurangnya Istirahat Mental

Notifikasi yang terus berdenting, video pendek tanpa henti, dan FOMO (Fear of Missing Out) membuat otak Gen-Z hampir tidak pernah benar-benar istirahat. Mereka terus-menerus menerima informasi dan distraksi dari layar ponsel.

Paparan digital yang berlebihan ini menyebabkan:

  • Kualitas tidur menurun, karena penggunaan gawai hingga larut malam.

  • Kelelahan mental, akibat multitasking yang tak henti.

  • Overthinking, dipicu oleh konten yang menstimulasi secara emosional.

Secara psikologis, kondisi ini dikenal sebagai kecemasan digital, yaitu gangguan kecemasan yang berkaitan langsung dengan penggunaan teknologi.


🧠 Krisis Identitas dan Self-Esteem yang Rapuh

Media sosial menciptakan ilusi kehidupan orang lain yang selalu bahagia, sukses, dan produktif. Gen-Z yang sedang dalam proses membentuk jati diri mudah terjebak dalam perbandingan yang tidak realistis, yang berdampak buruk terhadap harga diri.

Ketika kehidupan nyata tidak seindah yang terlihat di layar, banyak dari mereka mengalami:

  • Krisis identitas: merasa tidak cukup baik atau tidak sesuai ekspektasi.

  • Depresi ringan hingga berat, akibat rajazeus login tekanan sosial dan isolasi emosional.

  • Kecemasan sosial, hingga enggan berinteraksi secara langsung.


🧍 Kesepian dalam Keterhubungan

Ironisnya, meski selalu “terhubung”, banyak Gen-Z merasa semakin kesepian. Komunikasi digital tidak selalu berarti hubungan emosional yang dalam. Mereka bisa memiliki ratusan teman virtual, tapi tidak satu pun yang benar-benar bisa diajak bicara secara tulus saat sedang terpuruk.

Fenomena ini memperburuk perasaan keterasingan dan menciptakan lingkaran setan kesepian digital, di mana seseorang makin sering online justru karena merasa kesepian, tapi akhirnya makin terisolasi.


🛠️ Langkah Solutif: Membangun Keseimbangan Digital

Meski tantangannya besar, bukan berarti tidak ada solusi. Beberapa pendekatan dapat membantu Gen-Z mengelola kesehatan mentalnya di era digital:

  1. Digital detox berkala: mengatur waktu tanpa gawai untuk mengistirahatkan pikiran.

  2. Konseling dan terapi online: memanfaatkan teknologi untuk mendukung kesehatan mental, bukan memperburuknya.

  3. Pendidikan literasi digital dan emosional: sekolah dan keluarga perlu membekali Gen-Z dengan kemampuan mengelola emosi, mengenali stres, dan membangun citra diri yang sehat.

  4. Mendorong koneksi nyata: menghidupkan kembali interaksi tatap muka dan kegiatan offline yang membangun koneksi emosional.

BACA JUGA: Overthinking: Penyebab dan Strategi untuk Menghentikan Pola Pikir Berlebihan

Share: Facebook Twitter Linkedin